Jurnal 1
Pengembangan konseling kelompok untuk
peningkatan
pengelolaan diri pada remaja yang kecanduan
game
online
Triharim K. S. Pilpala
Metode
Penelitian
Rancangan
penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan penelitian tindakan (action research), yaitu penelitian
yang berorientasi pada penerapan tindakan. Tujuan action research adalah
peningkatan mutu atau kualitas pada suatu kelompok yang diteliti dan mengamati
tingkat keberhasilan atau akibat tindakannya untuk kemudian diberikan tindakan
lanjutan yang bersifat penyempurnaan tindakan atau penyesuaian dengan kondisi
dan situasi sehingga diperoleh hasil yang lebih baik (Greenwood & Levin,
1998).
Hasil
dan Pembahasan Penelitian
Pengujian
kepraktisan model Siklus pertama melibatkan tujuh orang remaja yang mengalami
kecanduan game online. Anggota kelompok ini berdasarkan anggota suatu clan
dalam permainan game online yaitu clan zyzha. semua subjek adalah laki-laki,
berusia 18-24 tahun (M=21,25; SD=3,03). Konseling kelompok untuk peningkatan
pengelolaan diri dilakukan selama empat sesi secara berturutturut dilakukan
selama 25 menit, 110 menit, 90 menit dan 90 menit. Pada awal sesi pertama,
permainan yang diberikan sebagai rapport dinilai terlalu monoton dan kurang
mengakrabkan antara anggota kelompok. Lima anggota kelompok merasa permainan yang
diberikan tidak sesuai dengan usia mereka. Hal ini menjadi catatan penting bagi
konselor untuk mempersiapkan cara untuk mengakrabkan dengan permainan yang sesuai
dengan usia konseli yang tidak terlepas dari tujuan sesi tersebut. Pada sesi
kedua, satu anggota kelompok tidak dapat hadir tanpa alasan yang jelas. Oleh karena
itu diperlukan pemantapan kontrak kelompok agar kelancaran proses konseling
kelompok dapat berjalan baik terkait dengan proses konseling pada sesi kedua ini,
konseli mengatakan merasa jenuh dan bosan ketika diberikan permainan untuk
menguji daya ingat. Mereka merasa tujuan dalam permainan tersebut kurang sesuai
dengan pengelolaan diri dalam mengatasi kecanduan mereka. Hal ini menjadikan
catatan penting bagi konselor agar tidak memberikan permainan lebih dari satu
kali. Pada setiap sesi, anggota kelompok belum terlihat aktif dalam diskusi
yang dilakukan. Mereka hanya menjawab apa yang ditanya saja, selain itu
beberapa anggota kelompok masih menutupi data diri mereka sebenarnya, misalnya
frekuensi bermain mereka dan dampak yang terjadi dari kecanduan tersebut. Hal ini
menjadi catatan konselor agar melakukan peningkatan rapport pada anggota
kelompok agar timbul kepercayaan pada konseling kelompok di siklus kedua. Dalam
pemberian tugas rumah berupa pemantauan diri (self-monitoring), konselor masih
merasa bingung tentang stimulus control dan self- reward. Penjelasan dua hal
tersebut diperbaiki pada siklus selanjutnya agar tugas rumah tersebut dapat berjalan
lancar. Pada sesi ketiga dan keempat,
anggota kelompok merasa terlalu lama karena waktu yang digunakan selama 110
menit pada sesi ketiga dan 90 menit pada sesi keempat. Hal ini menjadi catatan
bagi konselor untuk mempersingkat waktu dan langsung tertuju pada tujuan yang
ingin dicapai. Selanjutnya diperlukan sesi penutup untuk menghentikan terapi
yang dilakukan. Pengujian kepraktisan model konseling kelompok pada siklus
pertama dijadikan dasar untuk meningkatkan kepraktisan pengembangan model guna
diterapkan pada penelitian siklus kedua.
Kecanduan
game online pada remaja berdasarkan hasil data yang diperoleh pada tindakan
KK-SPD telah menunjukkan peningkatan. Melihat intervensi konseling kelompok
yang telah dilakukan melalui pembagian siklus pertama dan siklus kedua, hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan intervensi konseling kelompok pada
siklus pertama rata-rata 90,1, pada siklus kedua peningkatan pengelolan diri
rata-rata 104,2. Secara keseluruhan untuk pengembangan KK-SPD terlihat adanya
peningkatan yang positif meskipun pada siklus kedua lebih terlihat terjadi
peningkatan pada siklus pertama. Hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya
perbaikan model pada siklus kedua. Dalam penelitian tindakan terdapat suatu
pencarian sistematik yang dilaksanakan oleh pelaksana program dalam kegiatannya
sendiri (dalam penelitian ini dilakukan oleh konselor dan konseli), dalam
mengumpulkan data tentang pelaksanaan kegiatan, keberhasilan dan hambatan yang
dihadapi, untuk kemudian menyusun rencana dan melakukan kegiatankegiatan
penyempurnaan atau penyesuaian dengan kondisi dan situasi sehingga diperoleh
hasil yang lebih baik (Greenwood & Levin, 1998). Adapun pendapat Kurt Lewin
menyimpulkan bahwa penelitian tindakan merupakan suatu proses yang memberikan
kepercayaan pada pengembangan kekuatan berpikir reflektif, diskusi, penentuan
keputusan dan tindakan oleh orang-orang biasa, berpartisipasi dalam penelitian
kolektif dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam
kegiatannya (Davison, Martinsons,Kock, 2004)
.
Kelebihaan
Penelitian
Abstrak jelas, sehingga dengan membaca abstraknya saja
pembaca dapat mengetahui hasil dari penelitian tersebut.
Kekurangan
Penelitian
Tidak
ada tujuan penelitian.
Jurnal 2
Internet Addiction Disorder (Studi Deskriptif
Mahasiswa Ilmu Sosial Internet
Addicts)
Ardhyana Rokhmah Pratiwi, dkk.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah memberikan gambaran deskriptif mengenai latar
belakang dan alasan para mahasiswa menjadi internet addicts tanpa mampu
mengontrol penggunaan internet mereka. Sedangkan dari penelitian adalah sebagai
berikut: (1) Signifikansi Akademis. Penelitian ini merupakan penelitian
berparadigma post-positivism yang bertujuan untuk mengekplorasi dan
mendeskripsikan mengapa para mahasiswa menjadi internet addicts. Karena
penelitian-penelitian sebelumnya sebagian besar menggunakan paradigma
positivism. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu komunikasi
secara umum dan internet addiciton disorder secara khusus. (2) Signifikansi
Praktis. Memahami penyebab internet addiciton disorder pada mahasiswa FISIP
Universitas Indonesia.
Metodologi
Penelitian
Dalam
penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat
deskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi.
Fenomenologi sebagai metodologi membantu peneliti masuk ke dalam persepsi orang
lain untuk memandang kehidupan yang dijalani. Peneliti mencoba memakai sepatu
orang lain dan memahami mengapa mereka menjalani kehidupan demikian. Dan metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah in-depth interview
atau wawancara mendalam subjek penelitian yaitu para mahasiswa internet addicts
serta observasi. Dalam memilih informan, akan digunakan purposeful sampling,
yaitu pengambilan sample berdasarkan kriteria tertentu yang harus disesuaikan
dengan masalah dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini akan dipilih lima
orang informan internet addicts yang telah melengkapi persyaratan penilaian
tingkat internet addiction berdasarkan Problematic Internet Use Questionnaire
(PIUQ). PIUQ adalah bentuk kuesioner The Three-Factor Model of Internet
Addiction yang dikembangkan oleh tiga orang peneliti dari Eotvos Loran
University, Hungaria, yaitu Demetrovics, Szeredi, dan Rozsa pada tahun 2007 untuk
mengukur tingkat internet addiction seseorang berdasarkan Model Tiga Faktor,
yaitu obsession, neglect, dan control disorder (Demetrovics, Szeredi, dan
Rozsa, 2008).
Hasil
dan Pembahasan Penelitian
Konsep-Konsep
Setelah
melakukan selective coding hasil wawancara dengan informan, di bawah ini merupakan
konsep-konsep yang dipetakan selama proses coding:
1.
Social structure: terdiri atas social facts data demografis, antara lain usia,
pendidikan, jenis kelamin, pendapatan keluarga, suku, agama, tempat tinggal,
pekerjaan orangtua, jumlah saudara, asal SMA, dsb.
2.
Social Background (mempengaruhi media orientation):
Media
content (1), yaitu konten harian khusus yang ditawarkan serta bentuk presentasi
dari media
Individual’s circumstances (2), yaitu kondisi-kondisi atau momen tertentu,
misalnya jumlah waktu luang, jenis aktivitas lain yang tersedia, dsb
Social context of choice and use (3), misalnya pengaruh dari keluarga, teman,
dan orang-orang dekat lainnya.
3.
Routine Activities. Aktivitas sehari-hari informan yang rutin dilakukan
termasuk kuliah, pekerjaan rumah, pekerjaan.
4.
Parental Communication, yaitu pola hubungan dan komunikasi antara orangtua
dengan informan. Komunikasi ini dapat terjadi searah atau dua arah, demokratis,
liberal, atau otoritarian. Selain itu, ini mencakup frekuensi dan intensitas
komunikasi antara orangtua dengan informan serta kenyamanan berinteraksi dan
berkomunikasi informan dengan orangtuanya.
5.
Deskripsi Informan. Deskripsi spesifik oleh peneliti terhadap informan
berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti.
6.
Internet Accesibility. Aksesibilitas internet informan. Ketersediaan fasilitas
internet di lingkungan sekitar informan termasuk rumah, warnet (warung
internet), perpustakaan, WIFI dan handphone.
7.
Neglect Scale. Hal-hal seperti melakukan pekerjaan rumah, bekerja, belajar,
makan, hubungan dengan partner, serta aktivitas lain menjadi kurang penting dan
diabaikan karena peningkatan waktu yang dihabiskan untuk penggunaan internet.
8.
Obsession Scale. Memperhatikan apa yang disebut peneliti, mental engagement
with the internet−meliput daydreaming, banyak berfantasi tentang internet,
menunggu-nunggu kapan dapat kembali online−and anxiety, worry, and depression
caused by lack of internet use
9.
Control Disorder Scale. Ditandai dengan fakta bahwa seseorang menggunakan
internet lebih sering dan lebih lama daripada waktu yang telah ia rencanakan
sebelumya dan ia tidak mampu mengurangi waktu penggunaan internet.
10.
Social Utility (Interest). Penggunaan internet oleh informan sebagai sarana
menyalurkan dan mengembangkan minat atau hobi informan.
11.
Socialization. Kegiatan interaksi informan.
12.
Companionship. Kebutuhan informan untuk memiliki tempat atau teman untuk
berbagi.
13.
Emotional Release. Kebutuhan informan untuk melampiaskan atau menyalurkan emosinya.
14.
Surveillance. Kebutuhan informan untuk mendapatkan informasi-informasi.
15.
Escape from Routine Problems. Kebutuhan informan untuk melepaskan diri
sementara dari masalahmasalah sehari-hari.
16.
Construction of Identity. Proses konstruksi identitas informan lewat Internet.
17.
Personal indentity (value reinforcement). Identitas atau nilai-nilai tertentu
yang dimiliki informan.
18.
Gratification Obtained. Kepuasan yang diperoleh oleh informan setelah
menggunakan Internet. Apakah informan dapat selalu menemukan apa yang dicarinya
di Internet.
19.
Self-improvement. Bentuk pembangunan diri menjadi lebih baik daripada
sebelumnya.
20.
Entertainment. Kebutuhan akan hiburan.
21. The
Media Equation. Media=real life. Dalam penelitian ini→ Internet=real life.
Kelebihan
Penelitian
Pembahasan
lebih terperinci dan mudah dimengerti.
Kelemahan
Penelitian
Tidak
memberikan saran untuk penelitian selanjutnya.
Jurnal 3
Pengujian Validitas Konstruk Kriteria
Kecanduan Internet
Helly P. Soetjipto
Metode
Penelitian
Responden
Partisipan
penelitian ini adalah pengguna jasa internet yang sebagian besar berasal dari
kota Yogyakar ta, sebanyak 124 responden yang memiliki kisaran usia antara 14
tahun hingga 35 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa.
Hanya ada tiga responden yang sudah bekerja dan usia mereka adalah 30, 32, dan
35 tahun. Seluruh responden setidaknya telah menggunakan internet selama 6 bulan
secara terus menerus. Dengan demikian mereka dapat dianggap sebagai existing
user (Grohol, 1999) dan telah mengenal dan mampu menggunakan fasilitas yang
disediakan oleh internet. Ada sebanyak 63 orang responden laki‐ laki (50,81 persen) dan 61 responden perempuan
(49,19 persen).
Hasil
dan Pembahasan
Analisis
faktor konfirmatori dilakukan terhadap 7 aitem. Ketujuh aitem tersebut
digunakan untuk menyusun 2 faktor atau variabel laten. Faktor 1 tersusun atas
lima buah aitem, yaitu aitem 3, 6, 7, 10, dan 11. Faktor 2 memiliki
2 aitem, yaitu aitem 9 dan 15. Hasil analisis data menunjukkan bahwa Chi‐square untuk model ini adalah 14,036 dengan
derajat kebebasan sebesar 13 dan p sebesar 0,371 (p > 0,05). Dengan demikian
dapatdisimpulkan bahwa tidak terdapat diskrepansi antara model dengan data
empirik. Tidak adanya diskrepansi diperkuat dengan beberapa indeks, antara lain
GFI, AGFI, NFI, dan CFI. Untuk model sebagaimana dipaparkan didalam Gambar 1
diperoleh GFI sebesar 0,968, AGFI sebesar 0,931, NFI sebesar 0,935, dan CFI
sebesar 0,995. Di samping itu, 2 indikator kesesuaian antara model dengan data
ditunjukkan pula oleh kecilnya angkaRMR (0,042) dan RMSEA (0,025) yang keduanya
lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian, berdasarkan beberapa indikator
kesesuaian model atau model fitness mengarah kepada suatu kesimpulan, yaitu
tidak ada diskrepansi antara model dengan data. Dapat pula disimpulkan bahwa
terdapat kesesuaian atau kecocokan antara model dengan data. Dengan demikian
untuk menentukan model manakah yang lebih baik justru menjadi lebih rumit jika
kita tidak mengkaji kembali angka‐angka yang menunjukkan besarnya standardized regression weight dan
squared multiple correlation. Jika dua ukuran ini dipertimbangkan, maka
penggunaan ukuran‐ukuran kecocokan (fit measures) menjadi kurang relevan karena dari dapatdenganpastidikatakan
bahwakedua model memiliki dukungan kuat dari data empiriknya. Berdasarkan
kaidah pengujian hipotesis yang lazim digunakan di dalam statistik, angka‐angka di dalam bermuara kepada kesimpulan yang sama yaitu
bahwa Model Modifikasi.
Kelebihan
penelitian
Abstrak jelas, sehingga dengan membaca abstraknya saja
pembaca dapat mengetahui hasil dari penelitian tersebut.
Kekurangan
Penelitian
Tidak
mempunyai tujuan penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar